Malam ini aku hanya bisa tersenyum. DI layar kaca televisi, seorang pria berkemeja cokelat (sungguh aku tak mengenalnya), sudah memastikan jadwal eksekusi mati untukku. Hm, berani sekali pria itu menentukan jadwal untuk kematianku. Sejak kapan dia diangkat menjadi Tuhan, sehingga berani menentukan jadwal kematian yang sebetulnya menjadi prerogatif Tuhan. Hm, untung saja ia berada jauh di sana. Andai saja dia dekat, mungkin sudah kucekik lehernya. Mungkin terasa nikmat, mencekik orang yang congkak yang hendak merebut kekuasaan Tuhan seperti pria itu.
“Kau sudah mendengarnya?” Bewok mempertanyakan. Bewok juga terhukum mati. Tapi nasibnya masih terkatung-katung. Lelaki yang dituduh sebagai pembunuh berencana terhadap lima orang jawara di Banten tersebut sampai sekarang belum ada kepastian tentang eksekusinya. PAdahal dia sudah 13 tahun dipenjara.
Aku menggukkan kepala.
“Kamu takut?” Tanyanya lagi, sambil menselonjorkan kakinya di lantai penjara yang sepi.
“Haha… sejak kapan aku takut dengan kematian. Aku sudah siap. Sebelum hakim memutuskan hukuman mati untukku, aku sudah siap dengan kematian. Kematian sudah menjadi hak kita yang tak mungkin kita lewatkan.”
Aha, kalian pasti bertanya-tanya mengapa aku sampai dihukum mati. Maaf, aku tak akan menceritakannya. Semuanya sudah aku jelaskan di pengadilan. Yang pasti aku bukan pelaku pembunuhan berencana dengan korban dimutilasi atau dengan modus sadis lainnya, seperti yang ditayangkan televisi. Jangankan untuk membunuh orang, liat darah ayam dipotong saja, tubuhku sudah gemetaran.
Aku juga tak termasuk dalam jaringan teroris, apalagi sebagai pengedar narkoba.
Lho, terus kenapa aku ditahan? (itu kan yang kamu pertanyakan)
Sudahlah, tak usah kalian bertanya tentang hukum. Di negeriku, hukum itu sesuatu gelap. Tak perlu kejelasan dan penjelasan. Aku sudah capek, berbusa-busa di pengadilan membela diri bahwa aku tak melakukan apa yang jaksa tuntut. Tapi mereka semua diam. Aku tetap dihukum. Aku sudah melakukan banding hingga ke tingkat paling atas, tapi semuanya sama. Aku capek.
Sekarang mereka mempersiapkan jadwal kematian untukku.
***
Masa isolasi di sel aku nikmati untuk bercengkrama dengan isteri dan dua anakku. Ya, permintaan terakhirku sebelum mati, hanya ingin berkumpul dengan keluargaku. Lucu sekali melihat si Azka, anak bungsuku yang baru berumur lima tahun pakai baju polisi kedodoran.
“Pak, beliin topinya!” ucapnya sambil ngelus-elus kepalanya yang botak. Aku mengguk pelan.
Isteriku tersenyum, walau aku bisa memastikan hatinya sangat pedih tahu suaminya dalam dua hari lagi akan menghadapi regu tembak.
Ibuku hadir juga di ruang karantina. Tapi dia lebih banyak diam.
“Sabar. Banyak doa…” cuma itu yang ibu katakan. Ada air mata yang nyangkut di ujung kelopak matanya.
****
Pukul 23.45, aku dibawa keluar dari ruang tahan. Aku dimasukkan dalam mobil dengan dikawal sejumlah aparat keamanan. Mobil melaju kencang. Sejumlah wartawan bergerombol di depan pintu rutan. Blizt kamera menyorot ke kendaraan yang kami tumpangi.
Mobil melaju semakin kencang. Seorang kameramen hampir tertabrak. Aha, salut sekali aku dengan kerja keras para wartawan itu. Sampai larut malam mereka masih memburu berita.
Mobil memasuki kawasan hutan lindung di pinggiran kota. Beberapa jenak kemudian mobil melambat. Mobil berhenti.
***
Sebelum mataku ditutup, aku masih sempat menyaksikan para penembak bersiaga di hadapanku.
DOR! (end)
***