Oleh Gola Gong
“Kalau ingin menjadi pengarang, pergilah ke tempat yang jauh, atau merantaulah ke negeri orang. Lalu tulislah pengalaman-pengalaman yang didapat.“ W. Somerset Maugham)
Kalimat sakti di atas saya temukan ketika masih usia SMA, di era 80-an. Betulkah hanya dengan pergi ke tempat yang jauh, saya bisa jadi pengarang? Secara genetik, saya tidak memiliki darah pengarang seperti Andrei Aksana dari dinasti Pane, misalnya. Ayah saya seorang guru olahraga dan Ibu tumbuh dari keluarga petani. Tapi keinginan saya jadi pengarang sangat menggebu-gebu.
PRAKTEK
Saya memulainya sejak kecil dengan gila menonton dan membaca buku. Di usia sekolah dasar, saya sudah membuat sandiwara radio dengan tip merek transistor 2 ban. Di SMP membikin komik silat. Dan di SMA memproduksi majalah kumpulan cerpen serta mengirimkan puisi ke beberapa majalah di Jakarta. Untuk menambah wawasan, saya kuliah di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, walaupun hanya bertahan sampai di semester V (1982 – 1985). Ternyata ketika sudah banyak mengenal teori, saya memilih ingin sesegera mungkin mempraktekkannya.
Saya juga sudah tercekoki oleh novel “Mengelilingi Dunia dalam 80 Hari” karya Jules Verne, sehingga terobsesi mengunjungi delapan keajaiban dunia seperti Borobudur, Eifel, Pisa, Tembok Cina, Niagara, Piramida-Sphinx, dan Taj Mahal, sehingga saat kuliah pun semakin terbakar saja hati ini. Saya merasa, jika bisa mengunjungi tempat-tempat hebat itu, bisa juga menuliskan karya fiksi. Maka saya sangat ingin membuktikan mantra W. Somerset Maugham itu. Saking kebeletnya, saya tinggalkan bangku kuliah. “Sorry, guys! Saya ingin jadi pengarang! Maka goodbye teori! Kini saatnya praktek!”
Saya sudah mengunjungi beberapa karya hebat manusia; Borobudur, Taj Mahal, Piramida, dan Spinx. Atau karya-karya lainnya, seperti Pagoda di Thailand, Golden Temple di Sikh, Amristar, India., dan menatap puncak gunung Himalaya di Nepal. Dua novel berlatar tempat Thailand dan India ; Bangkok Love Story dan Surat diterbitkan Gramedia, serrta “Kusunting Dikau di Sungai Nile” sedang saya garap.
STIMULUS
Bagi penulis pemula, kesulitan awal adalah bagaimana caranya bisa menemukan ide dan menuliskannya. Di setiap Minggu sore, saya mengajar di Kelas Menulis Rumah Dunia kepada para pelajar dan mahasiswa yang ingin bisa menulis berita dan feature (wartawan), menulis fiksi; cerita pendek dan novel (pengarang), serta skenario TV (script writer). Sedangkan di Jum’at pagi, saya mengajar menulis di SMA Unggulan Cahaya Madani Banten Boarding School. Selalu saya katakan kepada mereka yang hendak memasuki dunia kepengarangan, bahwa janganlah duduk di tempat komputer dengan kepala kosong, karena itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Ketika hendak menulis, persiapkanlah dulu semuanya. Bahan-bahannya; sinopsisnya. Syukur-syukur jika sanggup secara detail; alur cerita, konflik, latar tempat, dan karakter para tokoh. Itu yang saya sebut sebagai pra-poduksi. Ketika menulis, berarti saya sedang berproduksi. Menulis cerita pendek atau novel, bagi saya tetap harus ada nilai ekonomisnya, karena itu bagian dari industri.
Kelas Menulis Rumah Dunia sudah bergulir 6 angkatan sejak 2002. Setiap angkatan memakan waktu 3 sampai 4 bulan. Rata-rata kesulitan awal mereka adalah “ide” dan “bagaimana menuliskannya”. Mereka ingin bisa menulis cerpen dan novel dalam waktu cepat. Saya katakan kepada mereka, waktu 3 bulan adalah pengenalan teori. Mereka harus gigih belajar dan bersabar. Dibutuhkan waktu 2 sampai 3 tahun untuk bisa menulis novel. Itu pun jika tekun mengikuti stimulus-stimulus sebagai bagian dari proses kreatif, yang saya siapkan di Rumah Dunia untuk mereka; membuat jurnal, mengadakan diskusi buku, jumpa penulis, menghadiri launching buku, serta memprakarsai kegiatan kesenian, kebudayaan, dan pendidikan. Hal-hal yang pernah saya lakukan sebelum jadi pengarang. Saya katakan kepada mereka, isi kepala kalian dengan berbagai hal. Dengan begitu, kalian akan punya “bensin” saat menulis nanti!
Proses kreatif awal yang saya berikan kepada para calon penulis di Kelas Menulis Rumah Dunia, adalah memperkenalkan dunia jurnalistik selama 1 bulan. Pada tahap kedua, saya mengenalkan kepada mereka, bahwa teori-teori jurnalistik dengan unsur berita (5W + 1 H) bisa diterapkan ke dalam penulisan fiksi. Ketiksa saya tanyakan kepada mereka, pernahkah berpergian jauh? Jawaban mereka seragam; hanya berkutat dari rumah ke sekolah/kampus. Pertanyaan lainnya, “Apakah membaca buku?’ Rata-rata sesekali saja membaca buku. Wawasan juga adalah hal penting untuk mempersiapkan diri kita, jika ingin menjadi penulis (fiksi).
Beberapa peserta angkatan pertama Kelas Menulis Rumah Dunia, dengan sangat gigih melewati stimulus-stimulus yang saya berikan, pada tahun kedua berhasil membuat antoloji cerpen “Kacamata Sidik” (Senayan Abadi, 2004). Bahkan Qizink La Aziva menulis novel “Gerimis Terakhir” (Dar! Mizan, 2004) dan Ibnu Adam Aviciena dengan “Mana Bidadari Untukku” (Beranda Hikmah, 2004). Sampai angkatan kelima, cerpen-cerpen dan essay mereka bertebaran di beberapa majalah Jakarta dan koran lokal. Tiga antoloji cerpen dari penulis angkatan pertama sampai kelima dipajang di rak-rak toko buku; Padi Memerah (MU3, 2005), Harga Sebuah Hati (Akur, 2005), dan Masih Ada Cinta di Senja Itu (Senyan Abadi, 2005). Kini dua peserta angkatan pertama; Qizink La Aziva dan Ade Jahran, merintis karir sebagai wartawan di koran lokal. Yang paling membanggakan dari kelas menulis angkatan pertama; Endang Rukmana menyabet UNICEF AWARD 2004 dan Adkhilni MS menggondol IKAPI AWARD 2004.
BUKU HARIAN
Untuk terus menjaga naluri atau rasa kepenulisan, sejak masih usia sekolah saya selalu menyempatkan menulis apa saja di buku harian. Tentang hujan (latar suasana), keindahan sebuah kota (latar tempat), sahabat kita (latar watak/karakrer), cerita teman-teman di sekolah atau kampus (plot/alur cerita). Dengan cara itu, saya membiasakan diri melatih dan mengolah kata. Kalau tidak dibiasakan begitu, bagaimana saya bisa menemukan kosakata-kosakata baru? Pada situasi seperti ini, membaca adalah menu yang lain. Ismail Marahimin (Menulis Secara Populer, Pustaka Jaya, 1994) dengan sangat tepat menganalogikan, bahwa membaca memberikan berbagai-bagai “tenaga dalam” saat menulis. Ibarat mobil, bensin adalah tenaga dalamnya. Jadi, membaca adalah sarana utama menuju kepiawaian menulis. Di setiap kesempatan workshop menulis, saya selalu menyarankan kepada orang-orang, agar rajin membaca dan membiasakan diri menulis buku harian. Resep itu sudah saya buktikan sendiri keampuhannya.
Saya tidak pernah mengeluhkan bagaimana caranya memulai menulis karya fiksi. Sudah saya katakan, saya tidak punya bakat secara genetik. Tapi saya belajar tiada henti. Saya juga sebetulnya sadar, bahwa saya bukanlah pprofesional di bidang ini. Tapi sekali lagi, saya terus belajar. Saya rasa Tuhanlah yang secara langsung membimbing saya; memberikan stimulus-stimulus kepada saya sedari kecil hingga sampai kini.
Saat bujangan, saya relatif leluasa menulis, karena hanya perlu mengatur waktu bekerja dan kesenangan pribadi saja. Tapi, sepuluh tahun terakhir ini saya mulai “mengeluh”, bagaimana membagi waktu antara bekerja sebagai creative di RCTI, ayah empat anak, suami, warga masyarakat, menejer Rumah Dunia, serta guru pembina ekstrakurikuler SMA Unggulan “Cahaya Madani Boarding School” di Pandeglang, Banten. Bahkan di sela-sela itu, saya masih harus memberikan ceramah tentang komunitas baca dan menulis.
Sekarang saya mengelola waktu yang sempit, dibantu oleh istri; Tias Tatanka, dengan selalu menyempatkan 2 hingga 4 jam dalam sehari menulis di “buku harian” komputer saya, yang berupa folder-folder. Ada folder novel, yang jika di-klik bermunculan bakal-bakal novel yang pelan-pelan sedang saya garap. Mulai dari judul “Mesjid Guru”, “Kusunting Dikau di Sungai Nile”, “Brandal”, “Raja Maling”, “Clay”, dan “Dongeng Sebelum Tidur”. Biasanya saya menulis pada jam 02.00 – 06.00 WIB, saat istri dan keempat anak saya tidur.
JURNALISTIK
Saya sudah bisa mengelola waku, maka saya bisa memulai menulis dari mana saja. Ide dengan mudah bisa saya temukan. Saya juga tidak pernah merasakan terhambat, karena gara-gara tidak memiliki ide. Menurut Arswendo Atmowiloto (Mengarang Itu Gampang, Gramedia, 1982), ide bisa diawali dengan ilham. Sedangkan ilham sama saja dengan inspirasi. Bagi Wendo, ilham adalah semacam letikan menuju ide. Bagaimana memperoleh ilham atau insprasi? Itu semua bisa didapat di dalam realitas kehidupan. Dicontohkan Wendo, melihat warung tegal di sekolah kita, itu bisa menimbulkan letikan menulis cerita fiksi. Dari sinilah ide muncul. Tapi, apa ide dasarnya? Warung itu sendiri? Penjualnya? Pembelinya? Kita bisa memulai dari mana saja.
Ide bertebaran dimana-mana. Saya tinggal mencomotnya saja satu persatu. Ide itu tidak dicari, karena kalau tidak ketemu repot jadinya. Maka saya menemukan ide, bukan sekedar mencarinya. Bagaimana cara menemukannya? Pada masa sekarang, Tias sering membantu memberikan ide lewat diskusi kecil di meja makan atau di tempat tidur. Bahkan sering saya menemukan ide pada kedua anak saya; Bella (7 th) dan Abi (6 th).
Sejak masih di usia belasan tahun, musim liburan sering saya pergunakan untuk berpergian. Saya menyusuri bumi Jawa, ber-liften atau kucing-kucingan dengan kondektur kereta api. Setiap kota saya singgahi, saya rasakan denyut nadi dan nafas masyarakatnya. Mata saya jadikan kamera dan hati merasakan serta pikiran menuliskannya. Semua panca indra saya maksimalkan dengan menggunakan metode jurnalistik, yaitu unsur berita yang terkenal dengan formula 5W (where, when, why, who, what) dan 1H (how). Melalui riset (pustaka dan empiris) dan investigasi (observasi dan wawancara), lahirlah 10 jilid novel serial “Balada Si Roy” (Gramedia dan Beranda Hikmah), yang sebelumnya dimuat berseri di majalah HAI (1988 – 1992).
Semua yang saya alami, saya lihat, dan saya rasakan saya tumpahkan di buku harian. Ya, untuk jadi pengarang saya mengalami, melihat, dan merasakan. Puluhan buku harian saya telah menjadikan otak saya penuh dengan bahan cerita untuk saya tuliskan kelak. Saya bisa memulai menulis buku harian dari tukang semir (who) yang saya temui di stasiun, melukiskan keindahan kota (where) yang saya singgahi, peristiwa yang saya alami (what), dan sebagainya. Semua tergantung dari hasil investigasi; observasi dan wawancara. Jika menemukan sesuatu yang menarik, tentu saya akan melakukan investigasi. Misalnya, saya mewawancarai penyemir sepatu. Saya gali semua unsur 5W + 1H-nya. Kalau perlu saya melakukan observasi ke tempat tinggalnya. Dengan cara itulah saya bisa menemukan ide.
Metode jurnalistik ini sangat manjur. Pengalaman mewawancarai orang, menulis liputan perang, peristiwa kesenian dan kebudayaan, unjuk rasa, politik, ekonomi, humanioa, dan catatan perjalananan, menjadi babak awal sebagai penulis. Banyak penulis novel yang berangkat dari dunia jurnalistik. Albert Camus (Le Mythe Sisyphe, 1942), peraih nobel kesusastraan 1957, adalah kolumnis untuk koran Combat. Edgar Alan Poe (1809 – 1949) selain cerepenis, juga wartawan dan kritikus seni yang berpengaruh di abad 19. Di negeri kita tercatat nama-nama seperti Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma, Bre Redana, dan Veven SP Wardhana.
OBSERVASI
Untuk menemukan ide bukan berarti harus berpergian ke tempat jauh, beribu-ribu mil jaraknya. Wendo banyak menulis novel saat berada di LP Cipinang (1990 – 1995). Karl May juga menulis novel serialnya yang bagai candu; Old Sharterhand dan Winnetou di penjara. Dee menulis “Supernova” dengan cara browsing di intrenet. Seno Gumima Ajidarma mneulis “Saksi Mata” ketika melakukan tugas jurnalistik di Timor Timur. Hilman Hariwijaya menulis novel serial “Lupus” dengan cara membaca majalah-majalah remaja dan jalan-jalan di mal.Saya sering memulai dengan mendatangi keramaian di mana saja saya berada. Misalnya, saya pergi ke kesibukan pasar di pagi hari. Saya merekam semua yang saya lihat dan rasakan. Kalau perlu, saya melakukan wawancara dengan berbagai pelaku ekonomi di pasar (pedagang bakso, ketupat sayur, tujang parkir, dan kuli angkut barang). Saya mendatangi juga rumah sakit di saat waku bezoek. Saya membeli sekilo jeruk atau apel. Carilah pasien yang sedang sendirian, karena tidak ditengok oleh kerabatnya. Jilah teman si sakit. Berempatilah pada penyakitnya. Wawancarailah dia. Selama ini, saya tidak pernah ditolak oleh seseorang yang sakit, hanya karena saya bukan saudara. Bahkan si sakit merasa senang, karena ada yang menjenguk. Dari “wawancara” yang saya lakukan dan modal sekilo jeruk, saya tidak hanya menemukan ide untuk dituliskan dalam bentuk cerpen atau novel, tapi lebih dari sekedar ide, yaitu informasi-infomasi di balik ide itu. Saya bisa menemukan banyak pelajaran hidup yang harganya lebih mahal dari sekilo jeruk! Itu juga sangat penting untuk mengisi ceruk jiwa kita.
Ya, berpergian adalah bagian dari proses kreatif saya dalam menemukan ide. Dengan berpergian, saya bisa menemukan banyak ide untuk menulis cerita pendek atau novel. Tapi saya memahami, tidak semua orang bisa mendapatkan kemudahan seperti saya. Maka itulah saya dan Tias membuat pusat belajar Rumah Dunia. Kami berharap bisa memindahkan dunia ke rumah lewat buku. Dengan begitu, orang-orang yang terbatas secara ekonomi, situasi, kondisi, dan waktu bisa “berpetualang” di Rumah Dunia; mengembangkan sayap-sayap imajinasinya bersama-sama dengan kami.
Kalian juga, Pembaca Budiman, jika tidak punya waktu luang dan situasi serta kondisi terbatas, maka “berpergianlah” dengan cara mewawancarai teman/sahabat yang datang ke rumah dan keluarga dekat. Saat mewawancarai mereka, kembangkan sayap-sayap imajinasimu. Pasti akan terbayang sebuah cerita di sana! Saat mewawancarai mereka, tentu harus disertai naluri “investigasi”; jangan pernah diam, terus pasang kuping kuat-kuat untuk mendengarkan gosip atau issue. Bersikap seperti seorang detektif adalah awal yang baik. Selidiki semua yang kamu lihat dan rasakan! Itu untuk memperkaya tulisan!
Terakhir, membaca adalah bentuk observasi yang lain. Jika kamu termasuk orang yang memiliki problem berkomunikasi, membaca adalah jalan keluar yang baik. Bacalah buku-buku karya orang lain; novel sastra, novel populer, buku-buku umum, koran/majalah, kamus, brosur perjalanan, peta, dan bahkan resep masakan. Dengan membaca kita memasuki dunia lain dan wawasan kita akan luas. Saat menulis pun kita akan banyak mempunyai informasi untuk ditulis. Percayalah, dengan membaca ide yang entah bersembunyi dimana akan dengan mudah kita temukan. (*)
(Dimuat di Majalah Mata Baca edisi September 2005)