Minggu-minggu ini ada fenomena yang menghebohkan dalam dunia perfilman baik dalam lingkup global maupun dalam lingkup lokal. Adalah dua film yang sangat menghebohkan, namun mempunyai resepsi yang bertolak belakang di masyarakat. Pertama, film Fitna yang berasal dari Belanda, mendapatkan protes yang sangat keras dari pelbagai penjuru dunia, terutama dunia Islam, dan kedua film Ayat-Ayat Cinta dari tanah air kita yang mendapatkan pujian dari masyarakat Indonesia. Film Fitna disutradarai Geert Wilders.
Demontrasi untuk memprotes film itu sudah terjadi di mana-mana, seperti di Afghanistan, Pakistan, dan Mesir. Apa sesungguhnya yang menjadikan film itu mendapatkan tantangan untuk tidak diputar? Sebagaimana yang dikatakan oleh sang sutradara sendiri, Geert Wilders, bahwa film ini berupaya memperlihatkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggapnya sebagai inspirator gerakan terorisme di dunia. Masih menurut Geerts, bahwa Al-Qur’an tak ubahnya buku fasis Mein Kamp karya Adolf Hittler yang mengajak orang-orang untuk melakukan tindakan kejahatan. Pemerintah Belanda sendiri, sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri-nya, Maxim Verhagen, sebenarnya tidak mendukung pembuatan film tersebut. Upaya peringatan pelarangan tersebut sudah dilontarkan pada 2007. Upaya pemerintah ini pun diikuti oleh beberapa media visual (baca: televisi) di Belanda. Dan bahkan PBB sendiri sudah turun tangan dengan menyampaikan kepada sang sutradara tentang dampak buruk pemutaran film Fitna bagi kestabilan dunia. Namun, semuanya tidak bisa lebih jauh lagi untuk mencegahnya, karena dunia barat adalah dunia yang mengagungkan kebebasan. Semua orang berhak untuk mengekspresikan diri asal tidak melanggar undang-undang.
Pemerintah Belanda begitu peduli atas persoalan ini, karena kaum imigran muslim yang ada di sana telah mencapai 1,5 juta jiwa dengan hidup damai dan rukun bersama penganut agama lainnya. Jumlah itu berdasarkan penghitungan yang dilakukan Central Bureau of Statistics Netherlands. Logikanya, dengan adanya imigran muslim secara tidak langsung ikut menopang perekonomian Belanda setelah hancur akibat Perang Dunia II.
Di Indonesia juga sedang heboh dengan adanya film Ayat-Ayat Cinta. Ketika film ini diluncurkan pada 28 Februari lalu, para penonton membludak memecah rekor baru dalam dunia perfilman. Film yang digarap Hanung Bramantyo dari novel Habiburrahman El-Shirazi ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Film Ayat-Ayat Cinta ini mampu mensinergikan dua unsur, yaitu religi dan cinta, dan mampu menampilkan Islam yang ramah dan toleran terhadap agama lain, serta membela kaum lemah (mustad’afin) dan tertindas. Hal itu bisa kita lihat dalam sosok Fahri yang berpegang teguh menjalankan ajaran Islam, dengan disertai sifat ramah, sopan, dan hormat pada siapa pun. Beberapa cuplikan yang mendukung bahwa Islam merupakan agama rahmat seluruh alam adalah, seperti tokoh Fahri yang bertetangga secara harmonis dengan keluarga Maria—penganut agama Kristen, menolong Noura yang ditelantarkan ayahnya, dan menolong dua orang turis Amerika dalam Metro (Kereta Api bawah tanah). Paling tidak itulah yang mampu mendongkrak identitas Islam yang ramah tadi. Tentu saja masih banyak sesungguhnya adegan–adegan yang menggambarkan tentang keramahan Islam, terutama dalam novelnya langsung.
Sungguh itu jauh dari asumsi yang digambarkan Wilders bahwa agama Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan yang menginspirasikan dirinya untuk mengangkatnya ke layar lebar. Di sisi lain, film Ayat-Ayat Cinta juga mengajarkan agar bagaimana seharusnya umat Islam menghormati, dan mengajak tanpa kekerasan terhadap umat lain. Penghormatan dan ajakan baik dengan sendirinya akan direspek dengan baik pula oleh umat lainnya. Hal itu bisa kita lihat masuknya Maria memeluk Islam tanpa paksaan dan setelah belajar Al-Qur’an secara diam-diam dan ikhlas.
Kembali kepada persoalan pemutaran film Fitna. Umat Islam, khususnya di Indonesia, tidak perlu melakukan aksi anarkis, seperti melakukan perusakan terhadap perusahaan, kedutaan, dan teror terhadap warga Belanda di Indonesia. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa Wilders tidaklah mewakili sikap warga Belanda yang para warganya sangat ramah terhadap Islam. Wilders hanyalah warga kecil yang tidak didengar oleh mayoritas massa di dunia. Masjid Indonesia di Den Haag yang berdiri megah di tengah-tengah permukiman masyarakat Belanda adalah tanda bahwa Islam begitu dihargai. Kehadirannya tidak mengganggu, bahkan menentramkan bagi masyarakat penganut agama lainnya.
Itulah selayang pandang perbandingan antara film Fitna dan Ayat-Ayat Cinta. Keduanya hadir begitu menghebohkan, namun mendapat respons yang bertolak belakang. Ada secercah harapan, jika nanti suatu saat film Ayat-Ayat Cinta go international mudah-mudahan akan menjadikan film pertama yang mengkampanyekan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Tidak sebagaimana yang digambarkan dalam film Fitna. (*)
M. Iqbal Dawami, Alumnus Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tulisan ini dimuat di Radar Banten