Arsip | Januari, 2011

Dongeng Jawara

13 Jan

I. CARA MENGHIDUPKAN AC

Di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden, Abah Sobled malah memilih berangkat umroh ke tanah suci. Uang ganti rugi dari tanah gusuran untuk waduk di Banten Selatan dipakainya untuk mengajak kerabatnya untuk umroh.
Setelah sampai di Bandara King Abdul Aziz, Abah Sobled menyewa sebuah bus dari jasa travel untuk mengangkut dirinya dan keluarganya menuju penginapan.
Saat itu, cuaca di tanah suci sangat terik sekali. Panas begitu menyengat. Sialnya lagi, AC dalam bus itu mati alias tak berfungsi. Alhasil, dalam bus itu keluarga Abah Sobled menjadi resah karena kegerahan. Untuk meminta tolong sopir atau petugas travel yang asli Arab, keluarga Abah Sobled tak berani karena tak bisa berbahasa Arab. Sehingga keluarga Abah hanya bisa sewot di dalam bus.
Di tengah kondisi seperti ini, Abah Sobled yang duduk di bagian belakang langsung berdiri untuk menghampiri si petugas travle. Lalu dengan percaya diri, Abah berkata kepada petugas travel itu. “Hey, Acena Innalillahi Wa Inna Illaihi Rojiun,” ucap Abah polos sambil tangannya menunjuk AC yang padam.
Petugas travel mengangguk-angguk sambil nyengir. (qizink)

 

II. MINTA DISEBUT NAMANYA

Abah Sobled sudah jenuh di Jakarta. Walau belum mendapatkan ‘OVEN’ yang dipesan isterinya Pak Camat, Abah memilih untuk pulang kampung.
Karena tidak mau ketinggalan kereta lagi, Abah Sobled memilih menaiki bus. Ini juga pengalaman pertama bagi Abah dalam menaiki bus kota.
“Thamrin… Thamrin…” teriak kondektur bus.
Beberapa penumpang turun. Bus melaju kembali. Kondektur kembali berteriak, “Sudirman… Sudirman…”
Beberapa penumpang kembali turun. Bus kembali melaju. Beberapa saat kemudian, kondektur kembali teriak. “Dewi Sartika… Dewi Sartika….”
Penumpang kembali turun.
Setelah beberapa saat bus melaju, penumpang bus kini tinggal Abah Sobled. Bus terus berputar-putar di dalam kota. Namun Abah belum juga turun dari bus. Abah merasa kesal karena sudah cukup lama duduk di dalam bus. Abah mendatangi kondektur. “Ti tadi nu disebut teh ngaran Sudirman, Thamrin, Dewi Sartika wae . Abah geh hayang turun blegug. Iraha ngaran Abah disebut…(Dari tadi yang disebut nama Sudirman, Thamrin, Dewi Sarta. Abah ingin turun. Kapan nama abah disebut) !!!”
Mata Abah melotot. Kondektur bus melongo. (qizink)

 

III. MEMBELI OPEN

Sesampainya di Jakarta, Abah Sobled teringat pesan isteri Pak Camat yang meminta dibelikan oven. Abah Sobled tentu saja kebingungan, karena dia belum tahu bentuk oven. Yang ia tahu, berdasarkan penjelasan isteri Pak Camat, oven merupakan perkakas untuk memanggang kue.
Abah Sobled berjalan menyusuri Jakarta untuk mencari barang pesanan isteri Pak Camat. Di tengah perjalanan, Abah Sobled melihat tempat penukaran uang atau money changer yang di kaca pintunya tergantung sebuah tulisan ‘OPEN’. Karena logat orang sekitar Banten Selatan yang sulit membedakan aksen ‘V’, ‘F’, dan ‘P’, maka Abah Sobled berpikiran bahwa ‘OPEN’ sama dengan ‘OVEN’. Namun Abah Sobled bingung bagaimana cara membelinya. Abah Sobled pun hanya mematung di depan pintu masuk tempat penukaran uang tersebut.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba ada orang China yang hendak masuk ke tempat penukaran. Melihat ada orang yang hendak masuk, Abah langsung mencegahnya.
“Tong asup (jangan masuk-red), bahaya!” teriak Abah Sobled.
Namun larangan itu tak diindahkan. Si China itu tetap masuk ke dalam tempat penukaran uang. Abah Sobled pun kembali berdiri mematung di depan pintu masuk.
Tak lama berselang, dari dalam tempat penukaran uang itu keluar turis asal Afrika. Melihat orang kulit hitam, Abah Sobled menghampirinya. Abah mengira turis Afrika yang berkulit legam itu adalah sama dengan Si China tadi.
“Ceuk aing geh ceuk aing, tong asup. Tah jadi tutung sia asup ka open. (kata saya juga apa, jangan masuk. jadi gosong kamu masuk ke open!”
Si negro hanya melongo! (qizink)

 

IV. DENDAM PADA KERETA

Supaya tidak asing dengan dunia luar, Pak Camat menyuruh Abah Sobled untuk datang ke kota.
Pagi-pagi sekali, Abah Sobled berjalan kaki menuju stasiun Rangkasbitung. Sesampainya di stasiun, Abah langsung membeli tiket untuk jurusan ke Jakarta. Berdasarkan jadwal, sekitar 30 menit lagi kereta baru akan tiba.
Namun setelah ditunggu satu jam… dua jam… kereta juga tak datang. Sampai karena saking lelah dan kesalnya, Abah Sobled akhirnya tertidur lelap. Saat bangun, Abah mendapatkan informasi dari petugas stasiun bahwa kereta yang ditunggunya sudah lewat. Abah Sobled kesal. Tiket yang dipegangnya langsung dirobek.
Esok harinya, Abah datang kembali ke stasiun setelah melalui perjalanan panjang dari kampungnya. Membeli tiket seperti kemarin. Berdasarkan jadwal di tiket, kereta akan tiba 30 menit lagi.
Abah sabar menunggu… 30 menit… 1 jam… 2 jam. Rasa kantuk ditahannya. Saat hampir tiga jam menanti, kereta yang ditunggu Abah pun datang dan berhenti tepat di depan Abah.
Setelah berhenti, Abah segera bangkit dari tempat duduknya. Dan dalam sekejap, Abah lari sekencang-kencangnya di jalur rel kereta api arah Jakarta. Petugas stasiun yang melihat langsung mengejar Abah. Aksi kejar-kejaran antara Abah dan petugas stasiun pun terjadi di sepanjang rel Rangkasbitung – Jakarta. Setelah lebih dari 10 KM berlari, petugas stasiun akhirnya berhasil menyusul Abah.
“Abah kenapa lari?” tanya petugas dengan nafas ngos-ngosong.
“Abah dendam. Kemarin Abah ditinggalin kereta. Sekarang Abah yang ninggalin kereta,” sahut Abah polos. (qizink)

 

V.TINGGI ATAU PANJANG

Rombongan pejabat tinggi dari pemerintah pusat akan datang ke sebuah perkampungan di wilayah Banten Selatan. Untuk menyambut para pejabat tinggi ini, Pak Camat menginstruksikan kepada warganya, terutama yang rumahnya di tepi jalan agar memasang bendera sebagai tanda penghormatan.
Dan untuk memastikan bahwa warganya telah mematuhinya, Pak Camat pun keliling daerah. Pak Camat yang lulusan perguruan tinggi ternama itu tersenyum sumringah saat melihat hampir semua warganya memasang bendera. Namun tiba-tiba bola mata Pak Camat mendelik, saat melihat tiang bendera di depan rumah Abah Sobled masih terlihat kosong. Tak ada bendera yang berkibar di tiang bendera milik Abah yang terkenal sebagai jawara kampung ini.
Pak Camat bergegas turun dari mobil Kijangnya dengan dikawal dua ajudannya untuk mencari Abah Sobled. Kebetulan sekali pada saat itu, Abah Sobled sedang ada di rumah.
“Kenapa Abah tidak memasang bendera,” cerocos Pak Camat tanpa basa-basi.
“Susah masangnya, Pak Camat. Tali kerekan tiang benderanya sudah putus,” sahut Abah santai.
“Pasang lagi saja talinya,” saran Pak Camat.
“Susah masang talinya. Tiangnya kan tinggi. Besinya kecil. Saya tidak bisa naik sampai atas.”
“Abah nih banyak alasan. Tiang benderanya Abah copot dulu. Terus Abah ukur tingginya. Kan gampang. Makanya dulu Abah tuh sekolah, biar pinter!!!” suara Pak Camat ketus.
“Kalau tiangnya dicopot dulu, itu sih bukan ngukur tinggi, tapi ngukur panjang. Iya kan…?” balas Abah Sobled.
“grrrhh…”
Pak Camat hanya menghela nafas. Dalam hati Pak Camat membenarkan pernyataan Abah Sobled.
Pak Camat lalu meninggalkan Abah Sobled yang memandanginya dengan tatapan kosong. (qizink)