BELAKANGAN ini pemberitaan di media banyak diwarnai masalah kelangkaan beras di sejumlah tempat serta kontroversi berkaitan rencana impor beras. Tapi, ketika bertemu dengan Saipan dan Narja di pedalaman Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kab. Lebak, Banten, segala hiruk pikuk soal beras itu tidak terdengar. Di kesunyian hutan berpepohonan tua itu, warga Baduy menikmati kehidupan dengan senikmat-nikmatnya, menyantap nasi dengan lahap dan bekerja keras seperti biasa. Tidak ada yang mengeluh soal kesulitan makan.
Sebagian antropolog menggolongkan masyarakat Baduy masyarakat terasing. Namun, untuk memasukkan mereka sebagai warga miskin dan tidak mampu, tampaknya harus dikoreksi. Sebab, tidak pernah ada orang Baduy yang kelaparan atau busung lapar gara-gara tidak punya beras. Barangkali lebih cocok menyebut orang-orang Baduy sebagai masyarakat yang mandiri.
Tapi, jangan sangka orang-orang Baduy tidak melakukan transaksi ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan beras. Sepanjang memungkinkan, mereka membeli beras dari luar wilayahnya. Jika harga beras sudah di luar kemampuan, mereka berhenti membeli beras. Eureun bae tong meuli beas. Naon hesena, kata Saipan enteng. (Berhenti saja beli beras. Apa susahnya).
Cara lain yang mereka lakukan berpuasa semampunya atau mengurangi jatah makan. Kalau keadaannya sudah tidak lagi memungkinkan untuk itu, maka orang-orang Baduy akan berpaling ke leuit. Leuit adalah bangunan serupa rumah tapi lebih kecil ukurannya, berisi padi hasil ngahuma (menanam padi dengan cara berladang). Setiap keluarga memiliki leuit. Semakin tinggi status sosial ekonominya, semakin banyak leuit yang dimiliki keluarga tersebut.
Bagi mereka leuit adalah tabungan yang sangat berarti. Dengan teknologi yang dimilikinya, orang Baduy menjadikan leuit tidak bisa dimasuki tikus dan sejenisnya. Bangunan ini tidak berjendela, hanya ada dua pintu kecil. Pintu sebelah atas untuk memasukkan padi dan yang di bawahnya untuk mengambil padi.
**
ORANG Baduy dikenal sangat hemat dan pandai menjaga persediaan pangan mereka. Berapapun banyaknya padi dalam leuit miliknya, warga Kanekes tetap berupaya membeli beras dari luar wilayahnya sepanjang memiliki uang. Setidaknya ada dua tujuan penting mengapa mereka melakukan hal itu.
Pertama, agar hubungan sosial ekonomi dengan warga di luar wilayah adat Kanekes tetap terpelihara. Selain itu, untuk kebutuhan lauk pauk seperti ikan asin, mereka tetap harus membeli di Pasar Ciboleger, pasar terdekat. “Tapi, ulah maksakeun meulian beas ti luar, lamun matak ngabeuratkeun mah. Di leuit oge loba keneh ieuh pare mah,” tutur Narja. (Jangan memaksakan membeli beras dari luar kalau memberatkan. Di leuit juga banyak persediaan padi).
Kedua, orang Baduy menjadikan leuit sebagai persediaan pangan menghadapi kemungkinan paling buruk dalam perekonomian mereka. Jika isi leuit tidak lagi penuh, itu alamat tidak baik bagi mereka. Akan terjadi instabilitas dalam kehidupan warga Baduy. Karena itulah, jumlah leuit pun terus bertambah dan lebih banyak dari jumlah rumah tinggal mereka.
Jangan heran, kalau suatu ketika disuguhi makan di rumah orang Baduy, lalu tuan rumah berkata bahwa beras merah yang disantap dengan ikan asin bakar itu usianya mungkin telah puluhan tahun. Hal itu sebagai bukti betapa lamanya padi tersimpan dalam leuit. “Mungkin saja nasi yang kita makan ini, hasil panen ketika saya masih bujangan,” ujar Saipan yang berusia sekira 50 tahun.
Selain leuit yang dimiliki secara individual, terdapat pula leuit yang dimiliki secara komunal. Mungkin kira-kira sama dengan koperasi. Menurut cerita mereka, di leuit itu ada padi yang usianya sudah mencapai ratusan tahun. Leuit serupa itu terdapat di Baduy Jero yakni di Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ketiga tempat itu berdiam para puun (pemimpin tertinggi masyarakat Baduy).
Beras hasil jerih payah mereka warnanya merah, sementara beras “impor” warnanya putih. Mereka sadar betul, menanam padi dengan sistem pengairan guludug (hujan tahunan), pola panennya tidak sama dengan padi sawah irigasi. Karena itu, tidak cara lain kecuali menghemat penggunannya jika ingin tetap hidup.
Untuk hidup hemat dan bersahaja, tidak perlu menjadi orang Baduy. Tidak perlu hidup di dalam hutan yang jauh dari pergaulan zaman yang sudah maju. Cukup saja mengambil spirit dari apa yang mereka jalankan selama ini. Kearifan tidak henti-hentinya mereka perlihatkan dengan lugu tapi tegas. Tidak usah malu belajar kebaikan dari siapa saja. (Enton Supriyatna Sind)***
Sumber : Pikiran Rakyat