Puisi dari Banten, Sembunyi Sampai Mati

13 Agu

Oleh BAMBANG Q. ANEES

“SEMBUNYI Sampai Mati” begitu judul antologi Puisi 14 Penyair Serang (Banten). Judul ini diambil dari salah satu puisi penyair Akmal yang memiliki gaya penulisan sederhana, lugas, sambil tetap menyisakan ruang renung bagi pembacanya. Ketika perang tak bisa dihindari/semua lelaki/ pergi/ membela negeri// ketika perang tak kunjung berhenti/ mereka enggan untuk kembali/ karena harga diri/ sebagai lelaki// dan aku di sini/ (masih di sini)/ (menyusun 100 strategi)/ sampai mati. Tak ada nada protes dalam puisi ini, mengalir begitu saja menyajikan perspektif si penyair terhadap suatu peristiwa. Yang menarik dari puisi ini adalah kelokan pada bait terakhir cerita jujur tentang diri (pilihan sikap si penyair atas situasi) yang sekaligus juga menyajikan kritik diam-diam terhadap pilihan sikap orang kebanyakan. Si penyair tidak menghakimi kekonyolan para lelaki yang “karena harga diri” lebih menghargai perang ketimbang kehidupan, puisi ini hanya menyajikan sikap “pengecut” (sembunyi sampai mati) yang dapat dijadikan pilihan sehat di tengah sengkarut gairah berperang.

Sederhana, tanpa kehendak menjadi hero, juga tanpa klaim benar sendiri memang salah ciri dasar bagi penulisan puisi. Pada antologi ini penulisan serupa ditemukan pada penyair El Fithrah, “Tuhan Menjelma Hiasan” Kali ini Tuhan terbelenggu, Kun-Nya membisu/ Dia memeluk kesendirian dalam kegelapan/ Singgasana-Nya dicuri Sulaiman// Sulaiman punya strategi baru/ Saba harus diperbaharu/ Jalan-jalan dibangunnya/ Diletakkannya Tuhan di sana// Cahaya Tuhan meredup kini/ Nama-Nya membeku mati di jeruji nurani/ Terasing di jantung hati negeri Saba/ Hingga menjelma hiasanlah Dia. Tak ada pretensi untuk mencerca, semuanya diceritakan begitu saja, namun serentak terbaca kritik yang cukup pedas. Tak terbaca, tetapi kemudian terasa perlahan-lahan ada yang menggugat.

Puisi memang bukan sains atau agama. Sains dapat mengukur dan menentukan kebenaran realitas, agama dapat memiliki klaim tentang kebaikan dan keselamatan, sedangkan puisi bermain di antara keduanya. Tak hendak mengukur atau menentukan apalagi mengklaim, namun hanya menghidangkan realitas dengan komposisi tertentu seraya menyeret kesadaran pembacanya ke arah kebenaran dan kebaikan manusiawi (baca: bukan kebenaran sains atau agama). Puisi tak harus memberikan putusan (apa yang harus atau apa yang boleh/benar), sebagaimana diri manusia yang kerap terjebak pada apa yang mungkin ketimbang apa yang harus/benar.

Pilihan untuk menjadi “pengecut” (mengangankan kenyataan lain di tengah hantaman kenyataan kini) menjadi tema dasar dalam banyak puisi, juga pada puisi-puisi antologi ini. Puisi 14 penyair Serang ini (Adkhilni M.S., Agung Wibawa, Akmal, Anah Muawanah, Budi W. Iskandar, Firman Venayaksa, Ibnu Adam Aviciena, Mahdiduri, Moechlas M. Razaq, Purwa Rubiono, Qizink la Aziva, Qorie Lawa, dan Tias Tatanka) menyajikan tegangan antara “apa yang nyata” dan apa yang diinginkan/ diangankan. Secara umum, seperti penyair Indonesis pada umumnya, tema-tema cinta, pukau kata-kata, Tuhan, kesunyian dan waktu muncul di banyak puisi. Akan tetapi, waktu memiliki porsi yang lebih menarik dan dalam; perspektif waktu seperti membungkus pengalaman manusiawi di dalam ruang.

Puisi Qizink la Aziva “Namaku Surosowan” menyajikan sajian penghayatan waktu yang cukup menarik. Surosowan adalah nama benteng perang Kerajaan Banten masa silam. Wujudnya telah hancur dan tidak menjalankan fungsinya semula, namun nama serta hikayatnya masih tetap terpelihara dan diangankan dapat diwujudkan kembali. Perkenalkan/ Namaku Surosowan// Musafir tua yang dulu pernah/ Menggapai cahaya bintang bulan sabit/ Di langit/ Di negeri seberang pun namaku telah dikenal orang, begitu Qizink memulai puisinya. Lalu, Sang Surosowan itu berjalan menelusuri tempat-tampat kejayaan masa lalu (palabuhan, istana terakhir, pantai, dan hutan) semuanya berjauhan dari yang diangankan. Pelabuhan tak lagi seramai dulu, pantai dikuasai Raja Singa; dijual para rentenir, dan hutan telah kerontang ranggas oleh air mata. Surosowan kecewa dan pilu, ia mencari (kejayaan masa lalu) dan kehilangan. Ah, Aku bukan bukan takut/ sebab aku bukan pengecut/ tapi aku tak mau diserang Raja Singa, kemudian Surosowan lari meninggalkan tempat lokalisasi. Ia singgah di pantai lain yang baginya lebih aman, ia singgah dan melepas dahaga. Kupesan sebutir kelapa muda/ Puah!/ “Haram jadah”/ di tenggorokan/ air kelapa muda terasa tuak Belanda/ Aku pun jadi mabuk dalam peluk si penjaga cantik/ menggoda// Amat sadar,/ tubuhku telah bugil di bilik kecil/ setitik aib muncrat di wajahnya. Air kelapa muda berubah menjadi tuak Belanda, daerah santri justru menyeret Surosowan untuk memuncratkan aib. Ada situasi tragis yang dimunculkan dalam puisi ini, namun dalam gaya penulisan yang sederhana dan tanpa pretensi.

Dari sudut waktu, puisi Qizink mencoba menghadirkan masa lalu di masa kini, atau menyajikan kenangan sebagai kacamata untuk memandang masa kini. Seperti juga ditemukan pada puisi “Kerang-kerang” Tias Tatanka, Laut itu dulu milik kami //Laut itu tercengkeram// Laut itu kini tak terlihat//Tak ada keluh tak ada sauh/ tak ada ikan tak ada nelayan. Menjadikan masa lalu sebagai kacamata dalam banyak hal dapat pula berarti mengangankan realitas dalam ukuran masa lalu. Yang baik dan benar, yang nyata adalah yang sesuai dengan masa lalu.

Kesadaran akan pentingnya menghadiran masa lalu bagi realitas boleh jadi dimiliki oleh semua masyarakat tradisi. Namun bagi lokal masyarakat Banten kesadaran pola waktu sejenis ini dapat dirujuk pada bait akhir dari Babad Banten. Sun simpen ing kandaga awor lan kitabku sufi, lamun arsa ing benjang den ungkaban (aku simpan dalam kotak, terusan kejayaan kita dan kitab sufi kita, kelak akan ada yang membukanya jika dikehendaki). Satu bait yang tak lazim bagi kitab babad, tak ada ujung yang pasti dan gemilang seperti lazimnya kisah dongeng (dan pangeran hidup bahagia dalam cinta putri raja, selamanya).

Petikan itu menyatakan dua hal, pertama bahwa akhir dari kisah ditentukan oleh orang-orang masa depan. Akhir tak dapat dituliskan karena waktu terus berjalan. Kedua, kejayaan peradaban memiliki sisi lain yang saling kait, yaitu dengan kitabku sufi. Keduanya analog dengan kalimat proklamasi pendirian tanah Banten gawe kuta baluwarti kalawan bata lan kawis (membangun kota dan peradabannya dengan batu bata dan batu karang).

Batu karang adalah hal yang alamiah (nature) dan ada batu bata yang hasil kreasi manusia (culture) menjadi basis pembangunan peradaban Banten, di sisi lain pada kalimat penutup Babad Banten ada kitabku sufi yang nature (kemestian alamiah bagi manusia yang merenungi mikrokosmos dan makrokosmos kediriannya) dan awor peradaban yang merupakan kreasi manusia. Kultur tentu beranjak dari alam sehingga awor peradaban pun beranjak dari kitabku sufi.

Pembedaan masa lalu-masa depan dan alamiah kultur (atau tradisi kebaruan) menjadi tema dari sejumlah puisi 14 penyair Banten dalam “Antologi Puisi Sembunyi Sampai Mati”. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh tabiat dasar suatu puisi seperti dikemukakan Rimbaud “puisi adalah peramal yang menemukan kunci ke arah perayaan-perayaan masa lampau”. Puisi kerap muncul sebagai kreasi yang mempertanyakan atau menyajikan makna, sesuatu di sebalik yang nyata (yang kini). Pencarian makna dilakukan ketika situasi kini terasa asing, bukan lagi sebagai rumah bagi penghuninya, dan serentak keterasingan itu menyeret penyair pada nostalgia terhadap masa lalu. Puisi menyajikan kunci bagi perayaan masa lalu dan karenanya pembedaan dengan masa kini atau masa depan kerap ditemukan di dalamnya.

Kembali pada fenomena waktu dalam bait akhir Babad Banten, bait tersebut menggelar peta waktu yang cukup unik. Ada mula, proses kejayaan, akhir sementara, masa tanpa peradaban (atau peradaban lain), dan masa depan yang menuliskan sambungan hikayat peradaban mula. Masa kini adalah masa tanpa peradaban, kecuali jika disertai pengungkapan kandaga. Pola waktu semacam ini lazim dimiliki oleh banyak masyarakat tradisi yang biasanya dikaitkan dengan munculnya Ratu Adil sebagai pembangkit kejayaan di masa depan. Penganggapan masa kini sebagai masa tanpa peradaban menghasilkan sikap takiyah (sembunyi sementara untuk menyusun kekuatan) sekaligus juga sejumlah kritik terhadap situasi masa kini.

Masa kini dianggap maya karena yang nyata adalah masa mula dan masa depan yang dijanjikan. Gambaran waktu semisal ini dapat ditemukan pada puisi Toto S.T. Radik “Aku Datang dari Masa Depan” (SST Tasikmalaya, 2000). Puisi yang ditulis dalam lima bagian ini menyajikan pola waktu yang cukup rumit. Aku datang dari masa depan/ menembus gelap rahim seorang ratu//di rabu subuh bulan juni/ tahun 1965 yang tegang, inilah bait-bait awal pada bagian pertama puisi Toto S.T. Radik. Pada bait akhir bagian ini dituliskan banten yang lena/nagari yang lelah/ rasa sakitmu kelak, pangeran. Bagian kedua menceritakan si aku telah beranjak dewasa, berada di atas kerbau dan di tengah sawah (situasi culture). Si aku bertemu dengan lelaki berjubah hijau yang disebut molana, lelaki itu memberikan tuah masa lalu (menyentuh keningku: kesejukan yang kekal// tetapi ia tidak berkata apa-apa/tetapi di tanganku kini/ sebilah keris, wangi). Bagian ketiga tanpa penunjuk waktu berisi kritik terhadap masa kini (dan kemarau sejarah/ yang abai namanama Tuhan). Bagian keempat kembali menyajikan kritik atas situasi tanpa kejelasan penunjuk waktu– yang disertai ramalan masa depan (banten yang ujur/nagari yang lantak/ nyanyi pedihmu, kelak). Sementara pada bagian terakhir, terdapat bait sudah waktu: membuka kandaga/ menyusun aksara/ mengolah tembang/ kerajaanku yang akan datang.

Kutipan-kutipan puisi Toto S.T. Radik (editor antologi ini) tersebut menyajikan pencandraan waktu yang memayakan masa kini. Yang nyata adalah masa lalu (kelahiran, kedatangan molana, keris, wewangian) dan optimisme masa datang. Pada puisi-puisi di antologi “Sembunyi Sampai Mati”, realitas kekinian tidak secara utuh dimayakan. Realitas tetap diakui walaupun dengan kepiluan, masa lalu justru digambarkan lelah berjalan dan mencari tempat untuk sembunyi.

Terlepas dari semua itu, kehadiran antologi puisi ini memberikan khazanah baru bagi jagad perpuisian Indonesia. Serang yang tidak seproduktif Tasikmalaya dalam menciptakan penyair, akhirnya memunculkan sejumlah penyair muda dengan gaya penulisan yang sederhana, lugas, tanpa pretensi, sambil tetap menyajikan kekhasan cara pandang.***

(Pikiran Rakyat, Kamis, 09 Oktober 2003)

Tinggalkan komentar