In Memoriam S.K. Trimurti, Saksi Proklamasi 17 Agustus 1945

22 Mei

Oleh: Rosihan Anwar

Terus Berjuang, Lahirkan Anak di Tahanan
JIKA Anda melihat salah satu foto mengenai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, yang dibuat fotografer Alex Mendur (Ipphos), tampak di samping Soekarno yang sedang berbicara Mohamad Hatta dan Ny Fatmawati Soekarno. Selanjutnya, tampak Soewirjo, wali kota Jakarta, dan di dekatnya seorang perempuan berkain kebaya, berusia 33 tahun, kecil kurus, dengan wajah serius. Itulah Soerastri Karma (S.K.) Trimurti yang meninggal dunia pada 20 Mei 2008, tepat seabad Hari Kebangkitan Nasional di Rumah Sakit Cikini. Di sana dia dirawat sudah lama, sejak jatuh sakit pada 2005 Dia meninggal dalam kesunyian. Hanya putra sulungnya yang menunggui dia.

Hadirnya Trimurti pada upacara proklamasi kemerdekaan adalah karena protégé Bung Karno, kader kesayangan yang dilindunginya, perempuan aktivis perjuangan kemerdekaan, wartawan yang keluar masuk penjara di zaman kolonial Belanda. Dia protégé Bung Karno sejak di masa Bandung awal 1930-an, tatkala Bung Karno memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI).

Berlatar belakang keluarga priyayi rendah, dari kalangan pangreh praja, Trimurti yang lahir di Boyolali 11 Mei 1912 sempat bersekolah di Sekolah Guru Putri berbahasa Belanda di Jebres, Solo.

Sudah sangat dini Trimurti terseret dalam kegiatan politik. Dia menjadi guru sekolah dasar milik Parpol Partindo yang kepala sekolahnya adalah Sanusi Pane, penyair Pujangga Baru. Dia dilarang mengajar oleh Belanda yang menggariskan bahwa bekerja menjadi guru di depan kelas tidak bisa dikombinasikan dengan kerja sebagai penggiat politik. Dia tinggal di rumah istri pertama Bung Karno Bu Inggit untuk menemaninya karena sejak 1 Agustus 1933 Bung Karno ditangkap Belanda.

Yang menarik perhatian kita ialah Trimurti, dengan semangat perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka, menceburkan diri ke dunia jurnalistik. Bersama suaminya, Mohamad Ibnu Sayuti yang lebih terkenal dengan nama Sayuti Melik, yang dinikahi pada 1938, dia mendirikan koran Pesat di Semarang terbit tiga kali seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami istri itu terpaksa memborong berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga langganan.

Kalau mereka bukan orang orang yang punya magnificent obsession, keranjingan dengan cita-cita indah, bagaimanakah bisa bertahan hidup dalam kemelaratan?

Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu dimata-matai dinas intel Belanda (PID). Trimurti sampai pernah melahirkan anak di dalam penjara.

Berakhirkah penderitaan mereka setelah kapitulasi Belanda terhadap tentara Dai Nippon, Maret 1942? Tidak pula. Kenpeitai Jepang sama saja, mencurigai Sayuti sebagai orang komunis. Koran Pesat diberedel Japan, Trimurti ditangkap Kenpeitai. Dia disiksa dengan pukulan pentungan sehingga pingsan. Bukan main penderitaannya.

Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin “Empat Sekawan” Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansur. Saat itu Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu membawanya ke Jakarta untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat Seluruh Jawa. Trimurti dan Sayuti Melik dapat hidup relatif tenteram. Sayuti terus berada di sisi Bung Karno. Dialah yang kelak mengetik naskah proklamasi. Semua itu menunjukkan kedekatan Trimurti dan suaminya dengan Bung Karno.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Trimurti berpindah ke daerah pedalaman. Dia aktif dalam gerakan buruh. Terlibat dalam pembentukan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (Sobsi), yang kelak menjadi organisasi masa PKI. Pada 1947-1948, untuk masa singkat, dia diangkat sebagai menteri perburuhan dalam kabinet Amir Syarifuddin. Ketika pecah aksi militer Belanda kedua 18 Desember 1948, Trimurti ikut dalam perjuangan gerilya. Dia dulu dalam pengurus Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang juga mantel-organisasi PKI.

Apakah Trimurti seorang komunis? Pada hemat saya, tidak. Dia “kiri”, tetapi sebenarnya dia nasionalis, populis, yang berpihak kepada rakyat kecil. Saya akrab dengan Trimurti karena adiknya, almarhum Suryo Sumanto, mantan ketua umum Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia). Dia kumpul beberapa waktu dengan Usmar Ismail dan saya di rumah di Pegangsaan Barat nomor 6 paviliun.

Trimurti mengharapkan masyarakat Indonesia dikembangkan ke arah sosialis. Karena itu, dan untuk memenuhi keinginannya menambah ilmu, dia belajar ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1953 hingga 1960. Saya pikir memperhatikan perkembangan Indonesia sekarang dan globalisasi dunia akan sangatlah sukar mencapai cita-cita sosialis itu. Maka, saya doakan bagi Trimurti, beristirahatlah dengan damai. (*)

Rosihan Anwar, wartawan senior

Sumber : Jawa Pos, Kamis (22/5)

Satu Tanggapan to “In Memoriam S.K. Trimurti, Saksi Proklamasi 17 Agustus 1945”

  1. BuRuiLi Mei 24, 2008 pada 9:25 am #

    Terimakasih sudah memuat cerita/ berita ini.
    Selama ini saya cuma tau kao SLK TRimurti hadir di peristiwa bersejarah itu… Selebihnya tidak. Saya baru tau sekarang =)

    -BuRuLi-

Tinggalkan komentar