EMAK!

26 Jun

Oleh : Qizink La Aziva

 

Gumpalan kabut putih belum beranjak, tetap menyelimuti puncak Gunung Pulosari, Pandeglang. Butiran embun masih bersemayam di lembar dedaunan. Pun dengan kokok ayam, nyaring terdengar dari kandang-kandang yang belum dibuka pemiliknya.

Dari balik jendela, Arman memandangi hamparan sawah milik keluarganya. Sawah itu satu-satunya warisan yang ditinggalkan  almarhum ayahnya, empat tahun lalu. Luasnya hanya sekitar empat tombak. Sawahnya berada pada posisi yang kurang tepat, jauh dari irigasi. Sawah tadah hujan miliknya hanya bisa ditanami satu kali dalam setahun. Di musim kemarau sawahnya tidak bisa digarap, karena sulitnya mendapatkan air.

Arman melenguh, panen kali ini tidak akan banyak menuai hasil lagi. Serangan hama penggerek batang (sundep) mulai menyerang ratusan hektar lahan persawahan di kampungnya. Bahkan sudah sejak sepakan yang lalu, tanaman padi yang ada di Blok Langu habis diserang penyakit tungro yang disebarkan hama wereng hijau (Nilaparvata Sp).

Ancaman puso terus meluas di Kampung Mandalawangi, sebuah kampung kecil di bawah Gunung Pulosari. Mantri pertanian di kecamatan mengelus dada, persediaan pembasmi hama makin menipis. Para petani tidak bisa berbuat banyak untuk membasmi serangan hama perusak tanaman padi. Biaya pembelian obat pembasmi lebih tinggi dibanding hasil panen yang diperoleh mereka.

Man, tos nyarap1? Emak sudah siapkan nasi goreng di meja makan.”

“Nanti dulu, Mak! Arman belum lapar.”

“Beberapa hari ini, Emak melihat kamu selalu melamun. Ada apa?” ucap Emak seraya meletakan tumpukan pakaian di samping lemari kayu.

Arman mendesah. Matanya menatapi keriput yang memenuhi wajah orang tuanya.

“Tidak ada apa-apa, Mak!”

“Tidak usah bohong, Man. Emak tahu, kalau saat ini ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan.”

Emak mendekati Arman. Berdiri di samping puteranya. Lalu bersama-sama memandangi hamparan sawah miliknya.

“Tentang panen kali ini?” Emak mencoba menerka.

Arman tidak menyahutinya. Namun tatapan matanya seperti mengiyakan.

“Man, mungkin Allah belum memberikan rezekiNya kepada kita. Kita mesti sabar menghadapi semua cobaan ini.”

“Arman sudah tidak kuat, Mak!”

“Tidak kuat bagaimana?” sela Emak. “Apa kamu sudah tidak kuat lagi bercocok tanam?” perempuan berkain batik itu melanjutkan.

“Bukan, bukan itu maksud Arman, Mak,” sahut Arman cepat. “Arman masih sanggup untuk ngewaluku2, ngoyos3, atau ngagebot4. Arman tidak kuat, kalau selalu tidak menghasilkan apa-apa dari apa yang telah Arman kerjakan,” lanjutnya.

“Lalu apa yang ingin kamu lakukan?”

“Arman sudah bosan begini terus, Mak. Arman ingin  cari pekerjaan yang lain!”

Emak terhenyak. “Kamu mau kerja apa, Man?”

“Kang Bahrul kemarin ngajak Arman kerja di kota. Kata Kang Bahrul, juragannya di kota membutuhkan pekerja baru.”

Emak terdiam. Matahari makin meninggi.

 

***

Cahaya purnama menyelinap ke balik bilik.

Selepas Magrib, Arman telah pergi ke surau yang ada di ujung desa. Setiap malam Jumat, para pemuda kampung Mandalawangi menggelar pengajian.

Sementara itu, Emak terlihat sedang terpekur di dalam kamarnya. Di benaknya kembali berkelebatan niat Arman tadi pagi. Arman ingin pergi ke kota untuk mencari pekerjaan lain.

Terlalu berat bagi perempuan setengah baya itu untuk melepaskan anak semata wayangnya. Arman adalah satu-satunya tumpuan hidupnya. Sejak penyakit jantung mengantarkan suaminya ke liang lahat, Emak telah menyimpan sejuta harapan di pundak anaknya. Emak berharap, Arman bisa berada di sisinya, hingga usianya benar-benar tak bersisa.

Tapi ia juga tidak mau menghalangi anaknya untuk maju. Dalam hati, Emak juga ingin anaknya seperti si Sukandi atau beberapa anak tetangganya yang kini dapat hidup berkecukupan, setelah mengadu nasib di kota.

 

****

Matahari menyepuh langit menjadi keemasan.

“Gimana, Man. Kamu jadi ke kota?” tanya Dadan, teman sepermainan Arman, yang sedari tadi mengikuti langkah Arman di tepi pematang.

“Belum tahu, Dan. Emak belum kasih ijin,” sahut Arman lemah. “Kang Bahrul juga nunggu jawaban dari aku secepatnya. Kalau besok Emak tidak juga mengijinkannya, Kang Bahrul akan ngasih kesempatan kerja ini ke orang lain.”

“Lebih baik kamu urungkan niatmu itu. Kasihan emakmu kalau ditinggal sendirian di rumah. Beliau sudah terlalu renta untuk menjalani hidup sendirian.” Dadan membenarkan topi capingnya. “Kamu juga harus hati-hati sama Kang Bahrul. Kamu kan tahu, kalau Kang Bahrul dulu pernah berurusan dengan polisi gara-gara mencuri kambing Pak Lurah,” tambahnya.

“Aku enggak peduli dengan masa lalu Kang Bahrul. Yang penting saat ini ia sudah memberikan aku kesempatan buat maju di kota!”

“Jangan terlalu berharap, Man!”

“Aku sudah tidak sanggup lagi tinggal di kampung ini. Aku juga kepingin maju seperti teman-teman yang lain.”

 “Rezeki tidak hanya ada di kota, Man. Kampung kita juga memiliki kekayaan yang melimpah.”

Arman tak menyahuti. Dicabutnya batang ilalang yang ada di sampingnya. Kemudian di gigitnya.

 “Coba kamu lihat Kang Utuy, Man. Dia juga bisa berhasil tanpa harus ke kota. Dan kamu harus ingat, tidak semua yang ada di kota itu emas, Man,” lanjut Dadan menegaskan.

 “Tapi Kang Utuy itu sukses karena punya modal besar. Sementar orang seperti kita ini sulit untuk berkembang, karena tidak punya modal cukup untuk usaha.”

 “Kerja keras dan doa juga bisa menghantarkan kesuksesan seseorang,” ujar Dadan.

 

***

 

Di luar hujan terus merintik. Sesekali kilat menyambar. Menggelegar di pekatnya malam.

 “Mak,” panggil Arman perlahan.

Emak menoleh. Lewat cahaya lampu templok yang berada di atas meja makan, Arman dapat melihat dengan jelas wajah emaknya yang sayu. “Emak mau kan merestui Arman pergi?”

 “Kamu sudah yakin, Man?”

“Ini kesempatan buat Arman, Mak. Belum tentu tahun depan Kang Bahrul mau menawarkan kesempatan ini kepada Arman,” tandas Arman.

 “Emak bangga dengan semangat kamu, Man. Tapi Emak khawatir….”

 “Apa yang Emak khawatirkan?” sela Arman.

 “Emak takut kamu malah makin susah di kota. Mungkin kamu lebih tahu kalu kehidupan kota itu sangat keras dan kejam. bahkan lebih mengerikan dari hutan rimba sekalipun.”

Tiba-tiba saja, Emak teringat cerita almarhum suaminya. Dulu almarhum nyaris tewas, saat mempertahankan uang hasil penjualan gabahnya yang akan dirampok seorang preman di terminal Kalideres. Untung saja saat itu ada petugas keamanan yang berhasil mencokok si preman.

“Lebih baik kamu pikirkan lagi keinginanmu itu, Man,” saran Emak.

 “Kang Bahrul janji akan memberikan pekerjaan dan upah yang layak buat Arman. Jadi Emak tidak usah terlalu mengkhawatirkan Arman.”

 

***

 

Emak baru saja merampungkan shalat shubuhnya.

 “Man,  bangun, Man…,” teriak emak dari depan kamar Arman.

Tak ada jawaban. Emak kembali memanggili nama anaknya. Namun tetap saja, tidak ada tanda-tanda sahutan dari dalam kamar.

Emak mendorong pintu kamar anaknya yang kebetulan tidak terkunci. Emak terkejut, di dalam kamar ukuran 3×3 meter itu tidak ada siapa pun. Padahal biasanya Arman masih meringkuk di kamarnya, sampai emak membangunkannya untuk shalat Subuh.

 “Kemana kamu, Man?” gumam Emak.

Emak mencoba menyusuri seluruh sudut rumahnya yang tidak seberapa luas. Namun tetap saja, buah hatinya tidak juga diketemukanya. Begitupun ketika ia mencarinya di tempat pemandian yang ada di belakang rumahnya.

 “Dan, kamu lihat si Arman?” tanya Emak, kepada Dadan yang baru saja pulang dari mushola.

 “Tidak, Mak. Tadi di mushola juga saya tidak melihat Arman.”

Dadan dan beberapa warga yang baru saja pulang dari mushola  membantu Emak, ikut mencari Arman. “Mak, coba kita ke rumah Kang Bahrul. Siapa tahu Arman ada di sana, bukannya Arman berrencana pergi ke kota bareng si Bahrul,” usul Dadan di tengah jalan.

Emak tidak menyahuti, namun langkahnya mulai di arahkan ke rumah Kang Bahrul yang ada di ujung jalan. Emak makin mempercepat langkahnya. Hatinya juga mengatakan, kalau anaknya ada di tempat Kang Bahrul.

Emak dan  warga yang mengiringinya tersentak, ketika dari dalam rumah Kang Bahrul muncul sejumlah petugas keamanan berpakaian preman lengkap dengan senjata apinya. Di hadapan para petugas itu, tampak dua orang yang berjalan dengan tangan diborgol dan muka tertunduk. Emak makin tersentak, ketika mengetahui salah seorang yang diborgol itu adalah anaknya yang sedang dicari-carinya.

 “Arman!” 

Salah seorang petugas menghalangi, ketika emak berusaha mendekati Arman. “Kenapa dengan anak saya, Pak?” tanya Emak kepada salah seorang polisi.

 “Kami sudah lama mengincar saudara Bahrul, karena diduga menjadi salah satu jaringan pengedar ganja. Sedangkan Arman terbukti sedang membantu membungkusi daun-daun ganja milik Saudara Bahrul untuk dibawa ke Jakarta, pagi ini. Kami akan tetap meminta pertanggungjawaban keduanya….”

Emak tak sanggup untuk terus mendengarkan keterangan petugas keamananan. Kepalanya terasa pening. Kekuatan tubuhnya mulai goyah. Beberapa jenak kemudian, tubuhnya pun limbung.

 “Emak! Percayalah Mak, saya tidak terlibat ” teriak Arman  dari atas mobil patroli polisi yang melaju. Teriakan Arman percuma saja, karena Emak sudah tidak lagi bisa mendengarnya! (*)

 

Banten  23.40 Wib

 

1 Man, sudah makan?

2 Mencangkul

3 Membersihkan lahan pertanian dari rumput liar

4 Memisahkan butiran padi dari batangnya

 

Ilustrasi dari : http://www.allposters.com

10 Tanggapan to “EMAK!”

  1. FAD Juni 26, 2008 pada 6:15 pm #

    Emak emang orang yang hebat…jadi kangen nih sama emak yang di kampung.

  2. Yari NK Juni 26, 2008 pada 11:11 pm #

    Memang banyak mereka yang terlibat dalam perdagangan “terlarang” berasal dari keluarga2 yang baik dan sholeh, seolah2 ingin memperingatkan kita semua bahwa nilai2 kesholehan dari sebuah keluarga tidak cukup manakala si anak sudah bebas bergaul di dunia luar………

  3. Qizink Juni 27, 2008 pada 1:13 am #

    @ FAD
    Saya juga ikut kangen sama Emak! *hiks*

    Yari NK
    banyak cari untuk terjerumus!

  4. langitjiwa Juni 27, 2008 pada 10:32 am #

    aku lagi menyimak cerpenmu ini,kang.
    dan selamat sore untuk sahabatku qizink la aziva..

    aku.

  5. zoel chaniago Juni 28, 2008 pada 11:22 am #

    jadi kangen ama emak kuhhhh 😦

  6. hanggadamai Juni 30, 2008 pada 4:13 pm #

    sedih memang mendapat kenyataan seperti itu, kadang iming2 sebuiah pekerjaan dan kehidupan yg layak membuat kita terjerumus ke dalam jalan yg salah.
    Btw pak, apakah benar si arman membungkusi daun ganja? apa si arman mengerti narkotika yg sperti itu??

    @ hanggadamai
    jebakan bisa di mana saja….
    sebagai orang kampung arman lom ngerti!

  7. Menik Juli 1, 2008 pada 3:35 am #

    Ceritera yang menggugah hati 😦

    @ Menik
    makasih bunda!

  8. devi Juli 4, 2008 pada 3:45 am #

    duhhhhhhhhhhhhhhhhhhh jd kangen sm emak di tanah air nihhhhhhhhhhhhhhh…jd pingin pulang ke indonesia

    @ devi
    pulang lalu minta nikah! 😀

  9. ourkami September 18, 2008 pada 10:23 am #

    wow!!

  10. elwara November 7, 2008 pada 8:33 pm #

    Salam kenal, kang..

    Profil2 banten ijin koleksi 🙂

Tinggalkan Balasan ke Menik Batalkan balasan